Rabu, 15 Mei 2024

Asal Mula Nama Pantai Watu Ulo

 Cerita Rakyat Watu Ulo dan Raden Mursodo



Hari ini kembali penduduk di tepi pantai menggerutu. Mereka kesal karena Nogo Rojo selalu mendahului turun ke laut. Naga besar itu lagi-lagi menghabiskan isi laut. Penduduk sama sekali tidak mendapatkan makanan ketika jaring ditebarkan. Jangankan ikan, ganggang laut saja tidak ada satu pun yang tersangkut di jaring mereka.

"Kalau seperti ini terus kita bisa kelaparan!" teriak seorang pria tua sembari melemparkan kailnya ke pasir.

Teriakan pria tua itu disambut seruan marah penduduk lainnya. Mereka saling tuding karena tidak ada yang becus menjaga pantai. Padahal penjaga sudah ditugasi agar Nogo Rojo tidak masuk ke laut dan mengambil semua makanan di dalamnya.

"Berenangnya sangat cepat!" Seru seseorang. "Sulit sekali mengejarnya."

"Dia bisa terbang!" Seru yang lain. "Kita kan tidak punya sayap!"

Sedangkan yang lainnya berteriak kalau Nogo Rojo badannya sangat besar sehingga banyak penjaga yang mundur ketakutan begitu melihatnya.

Tidak ada yang ingat kapan naga besar itu mulai muncul. Penduduk benar-benar resah sekaligus marah. Naga jahat itu telah menghabiskan semua makanan yang ada di laut. Berkali-kali mereka memburu naga itu. Sayangnya Nogo Rojo sulit dikalahkan. Orang sakti di antara mereka saja angkat tangan. Mereka menyerah karena naga sangat sulit ditangkap.

Penduduk saling berteriak menyalahkan satu sama lain. Mereka bahkan tidak menyadari kehadiran Nenek dan Kakek Sambi. Kedua orang tua kebetulan lewat pantai dalam perjalan pulang ke rumah. Tampak Nenek dan Kakek Sambi menuntun seorang anak laki-laki.

"Ayo, Nek, jangan hiraukan mereka," bisik Kakek pada istrinya. Ia menarik lengan Nenek agar perhatiannya dari kerumunan penduduk teralihkan.

Nenek mengangguk, menurut pada kakek. Sebenarnya ia penasaran dengan keributan itu. Keberadaan Naga besar memang sangat merepotkan. Sekarang penduduk jadi kesulitan mendapatkan ikan. Semua habis dilahap Si Naga jahat.

Kemudian Nenek dan Kakek Sambi kembali berjalan menuju rumah mereka. Anak laki-laki yang sedari tadi diam-mengikuti mereka perlahan.

***

Nenek dan Kakek Sambi tidak memiliki anak. Keduanya kemudian menjadikan Raden Said dan Raden Mursodo sebagai anak angkat. Nenek dan Kakek Sambi sudah sangat tua, tapi mereka membesarkan kedua anak angkatnya dengan penuh kasih sayang.

Raden Said dan Raden Mursodo sangat kompak. Mereka saling menyayangi satu sama lain. Keduanya juga dikenal cukup tinggi ilmunya oleh penduduk. 

Suatu hari Raden Mursodo mengajak saudaranya untuk memancing. Awalnya Raden Said ragu, karena Raden Mursodo mengajaknya memancing di kawasan Nogo Rojo berkuasa.

"Jangan takut Saudaraku!" seru Raden Mursodo sambil mengangkat pedangnya. "Sekali tebas saja pasti dia hancur!"

Raden Said tertawa. "Tentu saja aku tak meragukanmu, Saudaraku!"

Raden Mursodo menurnkan pedang, lalu mulai berjalan digagah-gagahkan. Tawa Raden Said makin keras. Ia bergegas mengikuti saudaranya tersebut. Kesaktian Raden Mursodo memang tidak diragukan lagi.

Kemudian keduanya mulai berjalan menuju tenpat memancing. Tentu saja Nenek dan Kakek Sambi tidak tahu tujuan mereka yang sebenarnya. Raden Mursodo sengaja merahasiakannya karena tidak ingin membuat mereka khawatir.

***

Tempat tinggal Nogo Rojo sangat sunyi. Pepohonan lebat menyembunyikan tanah dari sinar matahari. Raden Said beberapa kali sampai harus mengangkat paksa kakinya yang tenggelam di tanah basah. Sementara itu Raden Mursodo tampak asyik menyusuri sungai yang airnya sangat jernih. Raden Said memperhatikan saudaranya yang tengah asyik sendiri itu. Tiba-tiba rasa seram menghinggapi dirinya. Bagaimana kalau Nogo Rojo datang? pikirnya.

"Bagaiman kalau naga jahat itu datang?" Tanyanya buru-buru pada Raden Mursodo.

Raden Mursodo mengangkat tangannya, menyuruh Raden Said Diam. Ia tengah mengukur kedalaman sungai sebelah mana yang tepat untuk mulai memancing. 

"Dia tidak akan datang. Karena pasti sibuk mencari makan di tempat lain." Raden Mursodo menjawab penuh keyakinan.

Kedua saudara itu kemudian mulai menyiapkan alat pancing. Raden Said sebenarnya ragu akan mendapatkan ikan. Terlihat dari sungai tempat mereka memancing, sama sekali tidak ada ikan yang berenang. Satu jam kemudian Raden Mursodo pun mulai terlihat kesal. Sungai di depan mereka tenang sekali. Tak terlihat riak air karena ada ikan yang berenang.

"Sepertinya kita memang harus pindah tempat," keluh Raden Mursodo yang akhirnya mengakui kalau dugaan saudaranya itu memang tepat.

Raden Said mengangguk lega. "Bagaimana kalau kita memancing di tepi pantai sebelah utara saja?"

Raden Mursodo mengangguk setuju. Ia pun menarik tali pancingannya. Tiba-tiba tali itu terasa agak berat. Raden Mursodo melihat ke dalam air ke tempat ujung mata kail berada. Dilihatnya ada gerakan, dan tali pancingnya jadi mengencang. Raden Said terpana begitu saudaranya menarik tali pancing. Ada seekor ikan di ujung mata kailnya.

"Hahaha. Lihat ini! Ikan Mina!" Raden Mursodo mengangkat tali pancingnya. Seekor ikan tampak menggelepar, mulutnya terjebak kail pancing.

Raden Said ikut senang. Walaupun hanya seekor ikan yang tertangkap, tapi cukup mengurangi kekesalan mereka. Kemudian ia membantu saudaranya melepaskan ikan tersebut dari mata kail. Sesuatu yang aneh terjadi ketika ikan mina itu sudah terlepas dari pancingan. Ikan itu membuka mulutnya lebar-lebar, dan mulai berbicara.

"To-tolong le-lepaskan a-aku," rintihnya. Tubuhnya menggelepar-gelepar di tangan Raden Mursodo.

Raden Mursodo sangat terkejut. Nyars saja ikannya terlepas dari tangan. "Ha! Ikan ini ajaib! Ia bisa bicara!"

Raden Said sama terkejutnya dengan saudaranya tersebut. Ia mengamati ikan mina yang terus menggelepar-gelepar. "Hei, kau ini apa sebenarnya?" teriaknya. Ada nada takjub dalam suaranya Raden Said.

"Tolong lepaskan aku, jangan makan aku." Ikan itu menangis.

Raden Mursodo masih setengah terkejut ketika terlintas sebuah ide di kepalanya. "Apa yang akan kau berikan pada kami kalau kau dilepaskan?" tanyanya penuh selidik. Ia ingin tahu kesaktian apa yang dimiliki ikan tersebut.

Ikan Mina menggelepar hebat. Rupanya ia mulai merasa sesak napas. "A-aku akan mem-memberikan sisikku padamu. Si-sik milikki akan berubah jadi e-emas," ucapnya megap-megap. Lalu sebuah sisik terjatuh ke tanah. Sisik itu langsung berubah jadi emas begitu menyentuh tanah di tepi sungai.

Kedua bersaudara tersebut sangat takjub melihatnya. Mereka tak sadar ada sepasang mata kuning mengintai saking terpesonanya menatap sisik emas ikan Mina. Raden Mursodo pun bersepakat akan melepaskan Ikan Mina asalkan ia memberinya sisik lebih banyak lagi. Ikan Mina menyanggupi permintaan tersebut.

"Ba-baiklah, akan kuberikan si-sik emas la-lagi, asalkan ka-kalian le-lepaskan aku," jawabnya megap-megap.

Raden Mursodo dengan senang hati melepaskan sang ikan ke sungai kembali. Beberapa sisik di tubuh ikan Mina mulai terlepas. Kedua bersaudara itu menahan napas, menunggu keajaiban terjadi begitu ikan Mina sudah dilepas. Keasyikan mereka terganggu sebuah suara geraman keras dari balik air sungai. Tiba-tiba saja Nogo Rojo muncul ke permukaan. Mulutnya terbuka lebar. Naga jahat itu menyambar ikan Mina yang sedetik lagi akan menyentuh air. Hap! Ikan itu langsung lenyap ditelan si naga besar. Harapan Raden Mursodo dan Raden Said mendapat banyak emas hilang dalam sekejap.

"Dasar naga jahat!! teriak Raden Mursoso marah. Dengan cepat ia menarik pedangnya, lalu melompat ke atas tubuh naga.

Raden Said menghunus pedangnya juga. Ia melompat, membuat luka panjang di perut Nogo Rojo yang mulai terbang. Nogo Rojo menggeram, menyemburkan api panas pada Raden Said. Dengan cekatan Raden Said menghindar semburan api tersebut. Sementara itu Raden Mursodo mulai menebas ekor naga. Naga menjerit kesakitan. Ekornya terlempar jauh ke arah Jawa tengah. Naga terbang turun naik, berusaha menjatuhkan Raden Mursodo.

Namun serangan Raden Said dari bawah memaksanya terbang lagi. Sedangkan serangan Raden Mursodo membuatnya sangat kesakitan. Raden Mursodo sangat marah karena tidak jadi mendapatkan emas. 

"Mati kau naga jahat!!" teriaknya sambil melompat tinggi lalu menebaskan pedangnya berulang kali.

Nogo Rojo menjerit kesakitan begitu pedang Raden Mursoso memotong tubuhnya. Bagian kepala Nogo Rojo terlempar ke arah Banyuwangi, sedangkan badannya yang besar terhempas di tepi pantai. Tamat sudah riwayat si naga besar itu di tangan Raden Mursodo.

Tentu saja kehebatan kedua bersaudara mengalahkan Nogo Rojo langsung tersebar. Penduduk memuji dan menghormati Raden Mursodo karena berhasil membinasakan naga jahat. Kini penduduk tidak khawatir lagi akan kehabisan makanan. Dan kemakmuran daerah mereka pun tergambar jelas.

Ajisaka dan Naga

 Ajisaka dan Naga




Pada zaman dahulu hiduplah seorang sakti bernama Ajisaka. Kesaktian Ajisaka terkenal dimana-mana, ilmunya sangat tinggi. Walaupun demikian Ajisaka sangat rendah hati. Ia tak segan berbagi ilmu. Oleh karena itulah banyak yang ingin berguru padanya.

Hingga suatu hari Ajisaka memutuskan pergi ke tanah Jawa. Ajisaka mengunjungi negeri Medang Kamulan. Di negeri itu Ajisaka bermaksud mengajarkan ilmu pengetahuan dan mantra-mantra. Tentu saja niatnya tersebut disambut baik oleh penduduk.

"Dengarkan!" seru seorang tetua kepada para penduduk yang tengah berkumpul. "Ajisaka telah berkenan untuk mengajarkan ilmunya pada kita dengan satu syarat."

Para penduduk saling bertatapan. Berbisik-bisik, bertanya apa gerangan syarat yang diajukan oleh Ajisaka. Mereka sedikit gelisah, takut ada syarat yang tak dapat dipenuhi. Sedangkan kedatangan Ajisaka ini sangat dinantikan oleh mereka.

"Apa syarat yang diminta oleh Ajisaka?" tanya seorang pemuda yang berdiri paling depan. Pertanyaannya tersebut sangat mewakili kegelisahan penduduk lainnya.

Tetua mengangkat tangannya, meminta agar penduduk tenang. "Ajisaka hanya akan mengajari murid pilihan saja. Syaratnya adalah hanya murid yang dipilih saja yang boleh mendengarkan ilmu yang diajarkan oleh Ajisaka. Apabila sengaja dilanggar akan tertimpa hal yang mengerikan."

Penduduk kembali ribut setelah mendengar syarat yang diajukan oleh Ajisaka. Tak lama kemudian dikeluarkan pengumuman siapa saja yang berhak belajar di pondok perguruan milik Ajisaka. Mereka yang terpilih tampak sangat gembira. Sebagian lainnya terlihat sangat kecewa karena tidak terpilih.

Ajisaka mempersilakan penduduk yang terpilih untuk masuk ke pondok perguruannya. Mereka kemudian membentuk sebuah lingkaran, lalu duduk di lantai kayu. Ajisaka mengajarkan berbagai macam ilmu pengetahuan dan mantra pada mereka. Sebelumnya ia telah meminta agar semua pintu dan jendela pondok ditutup rapat. Mantra yang diajarkan oleh Ajisaka memang bukan sembarangan. Karena itulah hanya orang-orang pilihannya saja yang diperbolehkan untuk mendengarkan.

"Kalian harus paham apabila ilmu dan mantra yang diajarkan ini tidak bisa dipelajari sembarangan," ujar Ajisaka sebelum memulai. Murid-muridnya mengangguk maklum. Ilmu Kanuragan Ajisaka memang sangat terkenal.

Pondok perguruan sangat hening ketika Ajisaka mulai mengajari murid-muridnya. Sama sekali tidak ada suara manusia. Beberapa ekor burung terlihat hinggap di atap pondok. Namun mereka bergegas terbang lagi seolah tahu tidak diinginkan keberadaannya. Kemudian tampak ayam-ayam yang berkeliaran di halaman pondok. Namun mereka juga tak berani mendekati tempat Ajisaka tengah mengajari murid-muridnya.

Beberapa lama kemudian para murid Ajisaka belajar dengan tenang. Mereka tidak menyadari apabila ada seekor ayam betina yang masuk ke bawah pondok kayu. Ayam betina itu mematuki tanah, mencari cacing yang tak ia dapatkan di halaman. Kebetulan tanah dibawah pondok sangat gembur. Ayam betina tersebut sangat senang karena mendapatkan banyak cacing.

Ajisaka mengajari murid-muridnya dengan tekun. Ia pun tak menyadari apabila setiap perkataannya ada yang mendengarkan. Yah, ayam betina itu mendengar setiap ucapan Ajisaka. Walaupun sebenarnya ia tak paham dengan apa yang didengarnya. Namun tetap saja setiap mantra yang diajarkan Ajisaka terdengar jelas oleh ayam tersebut.

Tak ada seorang pun yang menyadari akibat dari kejadian tak terduga ini. Bahkan Ajisaka sendiri pun tidak menduga akan terjadi sesuatu hal yang mengejutkan di masa yang akan datang.

***

Tak disangka pengaruh mantra yang didengar oleh ayam betina sangat besar akibatnya. Selayaknya ayam betina lainnya yang rajin bertelur. Si ayam betina itu pun suatu hari berkokok senang karena telah bertelur. Ayam itu tahu ada yang istimewa dari telurnya kali ini. Orang-orang sekampung sangat terkejut ketika menyadari telur ayam betina itu tidak seperti biasanya. Telur itu sangat besar ukurannya. Tapi si ayam betina sangat menyayangi telurnya. Ia tetap mengerami telur itu dengan suka cita.

Telur itu kemudian pecah setelah dierami si ayam betina. Lagi-lagi penduduk dibuat terkejut ketika yang keluar dari telur itu bukan anak ayam. Cerita mulai tersebar dari mulut ke mulut karena keajaiban telur raksasa itu. Mereka saling bercerita penuh ketakutan sekaligus kekaguman. Yah, dari telur itu keluar seekor anak naga. Memang sungguh ajaib. Para penduduk tidak mau berpikir yang macam-macam. Tapi mereka menyangkut pautkan keajaiban ini dengan Aji Saka.

"Pasti karena ayam itu tinggal di bawah pondok Aji Saka," celetuk seorang penduduk.

Penduduk yang lain mengangguk setuju mendengarnya. "Sepertinya ayam betina itu kecipratan mantra-mantra ajaib Aji Saka." Penduduk yang lain pun mengeluarkan pendapatnya.

Keajaiban telur raksasa dan si anak naga jadi rahasia umum selama bertahun-tahun. Sampai akhirnya si anak naga cukup besar untuk bertanya hal yang aneh dalam hidupnya. Si anak naga merasa heran tubuhnya tidak sama dengan anak ayam lainnya. Keanehan itu makin menjadi-jadi ketika tubuhnya makin besar saja. Dia pun mulai mencari tahu kebenarannya pada orang-orang. Si anak naga merasa sedih karena tidak punya teman. Semua orang dan hewan sangat takut padanya.

"Aku ini siapa?" tanyanya pada seorang penduduk yang langsung menghindarinya dengan ketakutan.

Anak naga tidak berputus asa. Dia mulai menanyai setiap penduduk yang dijumpainya. Hingga akhirnya seseorang memintanya untuk menemui Aji Saka. Si anak naga awalnya ragu-ragu. Karena dia juga tahu kalau Aji Saka itu orang sakti yang disegani penduduk desa. Namun, rasa penasaran mengalahkan keraguan tersebut. Dia pun memberanikan diri menemui Aji Saka. Aji Saka tahu, suatu hari si anak naga pasti akan menemuinya.

"Kamu adalah anakku," jawab Aji Saka mendahului pertanyaan si anak naga. "Kamu terlahir dari mantra-mantra saktiku," ucapnya lagi.

"Kalau begitu, aku adalah anakmu!" Anak naga sangat senang karena ternyata dia memiliki ayah.

Aji Saka sudah tahu hal ini akan terjadi. Sangat tidak mungkin naga itu mengikuti dia kemana-mana. Dirinya harus mencari akal agar naga yang suatu hari pasti jadi sangat besar itu tidak mengikutinya terus.

"Kau harus berkelana ke pantai selatan untuk meningkatkan ilmu," tukas Aji Saka. "Setelah ilmumu tinggi, kau boleh menemuiku."

Anak naga sangat kecewa mendengar perkataan Aji Saka. Karena marah dan kesal atas penolakan Aji Saka, tubuhnya jadi membesar, berubah jadi naga raksasa. Penduduk desa berteriak ketakutan. Mereka berlarian keluar desa, mencari perlindungan di hutan. Naga raksasa semakin kecewa dengan kejadian itu. Sedih dan kecewa, naga raksasa pun pergi meninggalkan desa kelahirannya. Naga raksasa pergi ke pantai selatan untuk bertapa.

Setelah tiba di pantai selatan, naga raksasa menggelungkan badannya di sepanjang pantai selatan. Dia bertapa sangat lama dengan harapan Aji Saka mencarinya setelah ilmunya sakti. Tahun berganti tahun, tubuh naga raksasa mulai mengeras. Dia berubah menjadi mirip batu bersisik. Aji Saka tak jua datang mencarinya. Ilmu naga raksasa makin lama makin tinggi. Amarahnya juga makin besar karena merasa dibuang oleh semua orang, termasuk ayahnya sendiri. 

Nogo Rojo, demikian penduduk pantai menyebutnya. Naga raksasa itu sewaktu-waktu muncul dari dalam lautan. Terbang ke langit dengan tubuh yang penuh buih air lautan. Dari mulutnya menyembur api besar. Nogo Rojo sangat senang melihat semua orang lari ketakutan ketika dia membakar lautan.


Asal Mula Nama Pantai Watu Ulo

 Cerita Rakyat Watu Ulo dan Raden Mursodo Hari ini kembali penduduk di tepi pantai menggerutu. Mereka kesal karena Nogo Rojo selalu mendahul...